Proses Mindfulness dalam Kesadaran Diri

a. Proses Terbentuknya Kesadaran Diri

Mindfulness sebagai kualitas kesadaran diri terkait erat dengan dinamika pikiran, tubuh dan otak; yakni hubungan timbal balik Homeostatis – Emosi – Kognitif (Brown & Ryan, 2003; Thompson & Varela, 2001; Beuregard dalam Watt, 2004). Hillman (Strongman, 1996) mengungkapkan bahwa emosi merupakan proses perubahan bentuk kesadaran sebagai respon terhadap realitas yang dihadapinya yang terwujud dengan perubahan keadaan fisik, misal ekspresi wajah. Keadaan tubuh dan emosi seseorang sesungguhnya merupakan bentuk ekspresi dari respon terhadap stimulus yang diterimanya setiap saat. Darwin (2003) mengungkapkan bahwa ekspresi emosi merupakan respon adaptif organisme terhadap lingkungan yang mengkomunikasikan mengenai keadaannya. Damasio (2000) menyatakan bahwa emosi merupakan hubungan rumit perubahan hormonal (kimia tubuh) dan sistem neural yang terkait peran pengaturan keadaan organisme untuk memelihara dan mempertahankan hidupnya

Damasio (2000) menyatakan emosi adalah bagian sistem regulasi biologis yang sangat mendasar untuk beradaptasi. Emosi mempunyai dua fungsi biologis. Pertama berfungsi untuk menghasilkan suatu reaksi ketika berhadapan dengan situasi tertentu; seperti melarikan diri atau melawan ketika menghadapi ancaman, terlebih lagi bagi manusia akan terlihat temperamen takut, marah, bahagia, ataupun bijaksana. Kedua berfungsi sebagai pengaturan keadaan internal tubuh yang diperlukan untuk suatu reaksi; seperti meningkatnya aliran darah pada arteri di kaki sehingga otot menerima ekstra energi dan oksigen, atau pada keadaan marah atau bahagia terlihat dari ritme detak jantung dan pernafasan. Beuregard (Watt, 2004) lebih lanjut mengungkapkan emosi sebagai perangkat beradaptasi merupakan bagian dari sistem homeostatis yang berperan menjaga dalam menciptakan keadaan keseimbangan internal tubuh. Cannon (Damasio, 2000) menyatakan homeostatis merupakan koordinasi otomatis reaksi fisiologis yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan internal pada organisme hidup, seperti pengaturan otomatis suhu tubuh, konsentrasi oksigen, atau pH dalam tubuh.

Keadaan homeostatis memerlukan emosi ketika berhadapan dengan lingkungan yang kompleks. Damasio (2000) mengungkapkan emosi penting bagi organisme karena setiap objek atau situasi mendapatkan sentuhan emosi yang bernilai bagi keadaan homeostatis sebagai hadiah-hukuman, kebahagiaan-kesakitan, ataupun baik (bertahan hidup) – buruk (kematian). Sakit merupakan persepsi mengenai rusaknya jaringan disertai meningkatnya emosi dirasakan sebagai rasa sakit. Sakit berhubungan erat dengan emosi negatif, seperti ketakutan dan kesedihan. Keadaan bahagia behubungan dengan keseimbangan keadaan internal, seperti lapar-haus (kurang tercukupinya kadar gula dalam darah ataupun mineral) bagi organisme sebagai dorongan atau motivasi untuk melangsungkan kehidupannya. Homeostatis dan emosi memiliki hubungan timbal balik untuk menjaga keseimbangan hidup organisme, seperti pengaturan metabolisme tubuh, refleks sederhana, motivasi, biologi sakit-bahagia, dan terutama emosi merupakan dasar pemahaman tingkat tinggi (kesadaran-kognitif) (Damasio, 2000). Hubungan timbal balik homeostatis dan emosi terjadi karena organisme didesain untuk memperhatikan adanya ketidakseimbangan yang terjadi dengan reaksi emosi berprioritas/spesifik (Bernhardt, 2001).

Emosi merupakan pikiran biologis bawah sadar yang secara otomatis mendorong organisme untuk berorientasi mempertahankan kehidupannya (Damasio, 2000; Beuregard dalam Watt, 2004; Bernhardt, 2001). Emosi berprioritas/spesifik seperti pengalaman sakit merupakan arahan bagi organisme untuk mempertahankan keberadaannya menghasilkan antisipasi sakit (ketakutan, kecemasan, ataupun kebencian). Keadaan emosi berprioritas/spesifik manusia lebih berisi dan kompleks tidak hanya menghasilkan dorongan seksual (reproduksi) tetapi juga rasa cinta, perawatan, dan pengasuhan.

Emosi berprioritas/spesifik menuntun pembentukan perasaan diri yang merupakan set prioritas bagaimana seseorang mendefinisikan dirinya dan bagaimana mempertahankan keberadaannya (Damasio, 2000; Beuregard dalam Watt, 2004; Bernhardt, 2001). Emosi berprioritas/spesifik merupakan arah penentu yang membawa kesadaran bagi manusia. Damasio (2000) mengungkapkan manusia merasakan keadaan emosinya ketika merasakan perasaan dirinya tercipta di pikirannya yang merupakan kesadaran akan dirinya. Kesadaran diri menyebabkan perasaan diri diketahui, mempengaruhi emosi secara internal dan mengantarkannya bersama arus proses pikiran sebagai pemilik perasaan diri. Kesadaran diri membuat suatu objek diketahui (objek emosi atau objek lain), meningkatkan kemampuan manusia merespon lebih adaptif, dan memungkinkan manusia memiliki kesadaran penuh akan kebutuhannya ketika berhadapan dengan lingkungan yang kompleks. Gambaran tingkat pengaturan kehidupan manusia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini :

High Reason

Respon komplek, fleksibel, dan terencana; tersusun dalam gambaran sadar dan kemungkinan muncul sebagai perilaku.

Consciousness

Feeling

Sensor yang menangkap sakit, senang, dan emosi menjadi gambaran mental.

Emotion

Respon emosi yang komplek dan stereotipik.

Basic Life Regulation

(Homeostatis)

Respon yang stereotipik, relatif sederhana seperti regulasi metabolisme; reflek; mekanisme biologis yang mendasari sakit dan senang, dorongan, dan motivasi.

Gambar 1. Tingkat pengaturan kehidupan manusia (Damasio, 2000)

Kesadaran diri merupakan perkembangan lebih lanjut dari emosi yang secara otomatis menghasilkan perilaku berorientasi untuk bertahan hidup. Emosi sebagai perangkat untuk beradaptasi merupakan bagian yang membantu menjaga dalam menciptakan keadaan keseimbangan internal tubuh (homeostatis) dan berperan secara tidak sadar (unconscious) menghasilkan perilaku ketika berinteraksi dengan lingkungan (Watt, 2004). Kesadaran diri merupakan perluasan dan lebih efektifnya sistem tidak sadar (homeostatis-emosi) tubuh dengan munculnya pengetahuan sadar (kognitif) akan keberadaan dirinya (Damasio, 2000).

Thompson dan Varela (2001) mengungkapkan bahwa kesadaran diri manusia merupakan wujud (embodiment) dan aktifnya hubungan proses pengalaman tubuh-otak dan interaksinya dengan dunia di sekelilingnya. Hubungan antara tubuh-otak dan dunia adalah dinamika hubungan antara neural tubuh dan kesadaran situasional yang merupakan proses siklus operasi neural yang menjadikan manusia sebagai agen penentu dari setiap aksinya. Thompson dan Varela (2001) menjelaskan tiga macam siklus yang menjadikan manusia sebagai agen kehidupan, yaitu : 1) siklus organisme yang terjadi pada seluruh tubuh; 2) siklus sensori-motor yang menghubungkan antara organisme dengan lingkungan; dan 3) siklus interaksi intersubjektif, termasuk didalamnya rekognisi pemaknaan dari setiap tindakan dan komunikasi bahasa.

1) Regulasi Organisme

Otak merupakan pusat sistem otomatis saraf, sensor dan efektor dari dan menuju tubuh terhubung proses neural ke proses homeostatis dari organ internal. Emosi merupakan refleksi dari hubungan antara sistem otomatis saraf dan sistem limbik melalui hipotalamus, sehingga emosi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pengaturan homeodinamik. Bagian otak tepatnya pada batang otak, nuklei yang mengatur homeostatis terhubung dengan nuklei yang mengatur tidur dan keadaan sadar terjaga. Regulasi organisme karena terhubung dengan sistem emosi dasar pada otak memiliki dimensi afeksi kuat, terlihat ketika berperilaku dan memiliki perasaan akan kehidupannya. Dimensi afeksi dari regulasi organisme disebut kesadaran inti (core consciousness), merupakan perasaan hidup mengenai keberadaannya yang tidak tergantikan untuk setiap keadaan sadar. Kesadaran ini merupakan regulasi dan proses afeksi yang menjadikan organisme merasakan perasaan dirinya. Kesadaran inti lebih lanjut dibahas dalam struktur kesadaran diri.

2) Sensori – Motor menghubungkan antara organisme dan lingkungan

Aktivitas situasional merupakan bentuk dari siklus sensori-motor yang menghubungkan organisme dengan lingkungan. Apa yang organisme rasakan ketika berinteraksi dengan lingkungan melalui tubuh-otak merupakan fungsi ketika beraksi situasional, begitu pula sebaliknya. Keadaan ini didasari oleh siklus sensori-motor terhubung dengan tubuh yang diolah di neokortikal dan subkortikal otak. Siklus ini memungkinkan organisme menjadi agen penentu dari setiap aksinya.

3) Interaksi Intersubjektif

Mengetahui keadaan afeksi dan sensori-motor sebagai intepretasi keadaan psikologis seseorang melalui bahasa tubuh (ekspresi raut muka, postur tubuh, nada suara) penting dalam kognisi sosial. Struktur yang penting bagi kognisi sosial (amygdala, kortek ventromedial frontal, dan somatosensori kanan) berhubungan erat dengan emosi. Bahan dasar penting bagi kognisi sosial dan emosi untuk diketahui adalah perasaan. Perasaan merupakan hal penting dalam merasakan pengalaman afeksinya yang terhubung dengan emosi diri atau menerima keadaan emosi orang lain dengan empatinya. Rekognisi dari makna tindakan orang lain tergantung dari bagaimana memahami tindakannya sendiri dikenal sebagai sistem cermin neural (mirror-neuron system). Sistem cermin neural untuk rekognisi tubuh, merupakan dasar neural untuk perkembangan bahasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran diri merupakan perkembangan lebih lanjut dari emosi dan keadaan homeostatis ketika berhadapan dengan lingkungan. Kesadaran diri merupakan perluasan dan lebih efektifnya sistem tidak sadar (homeostatis-emosi) tubuh dengan munculnya pengetahuan sadar (kognisi) akan keberadaan dirinya. Kesadaran diri menyebabkan manusia sebagai agen kehidupan setiap aksinya dan pemilik pengetahuan diri sehingga meningkatkan kemampuannya untuk merespon secara lebih adaptif. Manusia sebagai agen kehidupan dapat dipahami berdasarkan siklus neural yang mendasarinya antara lain regulasi organisme; sensori motor menghubungkan organisme dan lingkungan; dan interaksi intersubjektif.

Mindfulness sebagai Kualitas Kesadaran Diri

Psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental yang berarti kesadaran akan kehidupan mentalnya (James dalam Solso, 1998). Mindfulness adalah kualitas kesadaran diri (consciousness), yang mencakup keadaan sadar terjaga (awareness) dan perhatian (attention) dan harus dibedakan dari proses mental seperti kognisi (perencanaan-pengawasan), motivasi, dan keadaan emosi (Brown & Ryan, 2003). Mindfulness harus dibedakan dari beberapa teori self-awareness yang mendapat perhatian selama hampir 30 tahun belakang, seperti Duval dan Wicklunds (1972) yaitu teori objektif self-awareness, Buss’s (1980) yaitu teori self-consciousness, dan Carver dan Scheier’s (1981) yaitu teori self-awareness pengetahuan mengenai diri (Bishop dkk, 2004; Brown & Ryan, 2003). Istilah consciousness digunakan untuk pengertian kesadaran diri secara lebih luas dan didukung munculnya Journal of Consciousness Studies di awal tahun 90an. Istilah awareness saat ini digunakan untuk pengertian keadaan sadar terjaga terkait keadaan internal dan eksternal individu.

Konsep kesadaran diri dalam psikologi humanistik oleh May (Koeswara, 1988) menunjuk sebagai kapasitas yang membuat individu mampu menempatkan, mengamati dirinya, maupun membedakan dirinya dari orang lain; serta kapasitas yang memungkinkan individu mampu menempatkan diri dalam kesadaran masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang tanpa kehilangan dirinya. Ketidak mampuan individu untuk mengalami kontinyuitas perasaan secara langsung erat kaitannya dengan hilangnya kesadaran diri atas tubuh sebagai suatu kesatuan diri (May dalam Koeswara, 1988).

Atkinson dkk (1999) mengemukakan dua macam kesadaran, yaitu : kesadaran aktif, menitikberatkan pada proses mental dalam membuat rencana, mengambil inisiatif, dan memonitor diri sehingga akan memunculkan regulasi diri; dan kesadaran pasif, seperti kesadaran sederhana dari pikiran, emosi, penginderaan, dan kesan. Buss (1995) dalam teori self-consciousness mengemukakan pula ada dua jenis kesadaran diri, yaitu : private self-consciousness, merupakan kesadaran akan diri sendiri yang tidak bisa diamati secara langsung oleh orang lain, seperti bagaimana rasanya otot mengencang, perasan marah, cinta, ataupun perasaan spiritual; dan public self-consciousness, kesadaran akan diri yang diamati pula oleh orang lain, seperti penampilan diri, bagaimana orang lain berpikir tentang diri, penghargaan terhadap orang lain, ataupun bagaimana individu berkomunikasi dengan orang lain.

Solso (1998) mengemukakan bahwa kesadaran diri dari proses fisik mempunyai hubungan timbal balik dengan kehidupan mental yang terkait dengan tujuan hidup, emosi, dan proses kognitif yang mengikutinya. Santrock (2003b) mengemukakan kesadaran diri adalah keadaan sadar terjaga atau pengetahuan mengenai peristiwa yang terjadi di luar dan di dalam dirinya, termasuk sadar akan pribadinya dan pemikiran mengenai pengalamannya. Individu yang memiliki kesadaran diri adalah sadar akan persepsinya, perasaannya, angan-angannya, ataupun sadar akan dunia di luar dirinya (Hist; Posner dalam Matlin, 1998). Solso (1998) mengungkapkan kesadaran diri sebagai keadaan sadar terjaga akan lingkungan di sekitarnya dan proses kognitif yang terjadi dalam dirinya, seperti ingatan, pemikiran, emosi, dan reaksi fisiologisnya. Kesadaran diri adalah kesadaran pikiran yang berasal dari aliran persepsi terhadap sensasi, angan-angan, pemikiran, dan emosi yang terjadi secara terus-menerus (James dalam Santrock, 2003b).

Damasio (2000) menyatakan bahwa kesadaran diri didasari oleh keadaan sadar terjaga dan disertai oleh perhatian yang terpusat pada keadaan internal dalam dirinya (mind-body) dan lingkungan di luar sehingga mengetahui keberadaan dirinya di sini-saat ini. Kualitas kesadaran diri merupakan keadaan lebih jelas dan jernihnya pengalaman sadar individu mengenai keadaan di sini dan saat ini (here & now) dengan secara efektif menyadari ingatan masa lalu dan terlebih lagi memungkinkan mengantisipasi masa depan. Kualitas kesadaran diri oleh para praktisi meditasi timur dan para ahli neurofenomenologi menyebutnya sebagai mindfulness. Mindfulness adalah kualitas kesadaran diri diartikan sebagai meningkatnya perhatian dan keadaan sadar terjaga atas realitas pengalaman keberadaannya yang terjadi di sini-saat ini. Neurofenomenologi merupakan metodologi dengan pendekatan orang pertama dalam studi kesadaran diri yang menekankan pentingnya pengalaman orang pertama atas keadaan di sini-saat ini (Varela & Shear, 1999; Thompson & Lutz, 2003; Thompson dkk, 2004).

Kabat dan Zinn (Bishop, 2002; 2004) menjelaskan bahwa mindfulness merupakan proses yang mengantarkan kualitas perhatian kepada pengalaman disini-saat ini tanpa perlu mengelaborasi, tanpa penilaian; dan penerimaan akan pikiran, perasaan, ataupun sensasi yang muncul dari pusat keadaan sadar terjaga saat ini. Seperti pengalaman ketika berjalan di pantai, merasakan sensasi ketika kaki mendesak pasir, ketika melihat orang memakai bikini disadari sebagai proses pengelihatan yaitu mata menangkap objek manusia mengenakan bikini. Semua yang dirasakan, dilihat, didengar, reaksi emosi dan pemikiran yang menyertai; diperhatikan sebagai peristiwa mental yang muncul dalam arus kesadaran. Keadaan mindfulness diartikan bahwa pemikiran dan perasaan merupakan peristiwa mental yang muncul di pikiran tanpa perlu mengidentifikasikannya secara berlebihan, dan bereaksi secara otomatis dengan kebiasaan perilaku yang cenderung terdorong secara emosional. Mindfulness merupakan keadaan observasi diri yang memberi jarak antara persepsi dan respon, sehingga memungkinkan pikiran untuk merespon situasi lebih efektif pada realitas yang sesungguhnya.

Bishop dkk (2004) menjelaskan bahwa mindfulness merupakan proses yang membawa peningkatan perhatian kepada kualitas keadaan sadar terjaga yang non elaboratif atas pengalaman di sini-saat ini, sebagai pengalaman terbuka, penuh perhatian, dan penerimaan atasnya. Keadaan ini membawa perasaan penuh perhatian akan realitas yang terjadi, sebagai perasaan hidup atas peristiwa pengalaman yang terjadi di sini-saat ini. Misalnya pengalaman makan bersama teman di kantin, merasakan makanan yang masuk dimulut dan dikunyah; muncul pemikiran rasa enak-nasi pulen, kombinasi rasa gurih dan asin sebagai proses yang terjadi ketika makan pada saat ini; melihat teman yang sedang makan di sebelah; merasakan perasaan hidup ketika tangan memasukan makanan ke mulut dan keberadaan diri dengan dimensi jarak teman di sebelah, bangku yang diduduki, ruangan yang ditempati, dan waktu ketika memanipulasi objek di sekitar. Semua pengalaman keberadaan di sini-saat ini, dialami sebagaimana adanya yang merupakan peristiwa mental yang muncul dalam arus kesadaran.

Brown dan Ryan (2003, 2004) menjelaskan bahwa mindfulness adalah hasil meningkatnya keadaan sadar terjaga dan perhatian sehingga menghasilkan kesadaran penuh akan pengalaman keberadaannya di sini-saat ini secara lebih terbuka. Keadaan sadar terjaga adalah pengalaman subjektif dari fenomena internal dan eksternal yang merupakan apersepsi dan persepsi murni dari semua realitas peristiwa yang terjadi setiap saat. Perhatian merupakan pemusatan keadaan sadar terjaga untuk memperjelas aspek tertentu dari realitas. Pengalaman atas rasa kehidupan dan keberadaannya dialami sebagaimana adanya, sebagai realitas pengalaman di sini-saat ini.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mindfulness adalah proses hasil meningkatnya keadaan sadar terjaga dan perhatian yang terpusat pada keadaan internal dalam dirinya (mind-body) dan lingkungan di luar dirinya atas pengalaman keberadaannya di sini-saat ini; tanpa perlu mengelaborasi, tanpa penilaian, sebagai pengalaman terbuka dan penerimaan atasnya.